Opini  

Perkara Festival Leva Nuang, Landscape Buruknya Sistem Organisasi Birokrasi Disparekraf Lembata

Oleh : Bosko Beding (Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNWIRA Kupang)

Bosko Beding/Foto: Ist

Lamalera dalam perspektif masyarakat Lembata pada umumnya adalah kampung nelayan tradisional, gerbang agama Katolik, tempat lahirnya orang-orang berintelektual dan ikon pariwisata Lembata. Hal ini tidak terbantahkan karena dari kampung Lamalera ini, nama Lembata menjadi terkenal.

Nama Lamalera yang oleh beberapa orang menerjemahkannya sebagai Piring Matahari. Piring dan Matahari, bukanlah Piring dan Matahari secara fisik tetapi Piring dan Matahari adalah “ruh” bagi kami. Matahari adalah pusat jagat raya, sementara piring adalah lambang kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Piring Matahari (Lamalera) bagi saya adalah Piring Tuhan, tempat Tuhan menghidangkan berbagai anugerah kehidupan yang tentunya tidak didapat dengan cuma-cuma, tetapi lewat perjuangan mati raga masyarakat Lamalera.

Tahun 1863, seorang arkeolog Prancis pernah melakukan studi pembuatan perahu paledang di Lamalera. Di tahun tersebut sebuah video hitam-putih sudah berhasil mendokumentasikan budaya orang Lamalera. Bahkan sosiolog terkenal semacam Max Weber, pada tahun 1902 telah menginjakan kakinya di Lamalera, melakukan studi dan riset terkait kearifan orang Lamalera. Lamalera ibarat perpustakaan hidup.

Hematnya pada tahun-tahun tersebut, Lamalera ibarat matahari yang menjadi pusat penelitian jagat raya di semua bidang ilmu. Tidak lebih jika saya katakan bahwa Lamalera adalah pusat peradaban dan pengetahuan bagi kabupaten Lembata dan dunia pada umumnya.

Lamalera memiliki kompleksitas dalam kultur budaya, tradisi dan kearifan yang membentuk pengetahuan dan peradaban dunia, lewat segala aspek kehidupan yang telah mengkultus dalam keseharian mereka.

BACA JUGA:  Fraksi PAN DPRD NTT Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Warga Eks Timtim di Belu

“Memandang Lamalera berarti menyaksikan keajaiban hidup yang telah sekian abad bergulir di atas batu-batu karang yang menutupi sebagian besar badan Lamalera. Alam terkesan kikir dan miskin tetapi disinilah kehidupan itu berdenyut dengan indah.” (P. Steph Tupeng Witin, SVD)

Lemahnya Sistem Organisasi Birokrasi Disparekraf Lembata

Setelah mendapat respon penolakan terkait Festival Leva Nuang yang berbenturan dengan agenda sakral ritual pembukaan musim lefa, dinas Pariwisata Kabupaten Lembata melakukan sebuah langkah yang justru mencerminkan ketidakmampuan sistem dalam mengelola sebuah lembaga sebagai organisasi yang prosedural.

Perubahan pamflet yang terjadi adalah tontonan vulgar Disparekraf Kabupaten Lembata tentang bobroknya sistem komunikasi dalam tubuh instansinya. Pola interaksi yang dibangun cenderung secara horizontal saja dan hanya terjadi dalam lingkaran birokrasi, tanpa membangun komunikasi secara vertikal juga semakin menunjukan lemahnya pemahaman tugas dan fungsi dari bidang-bidang terkait sebagai sistem dalam sebuah birokrasi untuk mengkaji sebuah persoalan secara detail.

Ludwig Von Bertalanffy (1968) mengatakan bahwa keseluruhan sistem dalam organisasi sangat bergantung pada bagian-bagian sistem yang menjalankan pola-pola interaksi yang menyeluruh (patterns and wholes). Sementara fakta yang terjadi dalam birokrasi Disparekraf Kabupaten Lembata adalah melakukan semacam ‘trik’ memanfaatkan kekuatan media yang mampu membentuk opini, tanpa menjalankan patterns and wholes secara menyeluruh.

BACA JUGA:  Bidang Tanah Seluas 93 Hektar di Manulai II Milik Keluarga Toepitoe

Sistem-sistem pada Dinas Pariwisata Kabupaten Lembata seharusnya menjalankan pola-pola interaksi berupa membangun komunikasi yang seharusnya menyeluruh dan menyentuh akar persoalan, tetapi nyatanya hingga hari ini belum melakukan tindakkan yang real dan menjawab. Hal ini mengindikasi bahwa dinas terkait hanya setengah-setengah memahami isu dan konflik ditengah masyarakat tanpa menjalankan sistem sebenar-benarnya.

Pendekatan dialogis humanis yang seharusnya sudah diperagakan, seakan diam di tengah respon negatif berupa penolakan keras masyarakat adat Lamalera. Solusi yang ingin didengar oleh publik untuk menetralisir kegaduhan yang sudah diciptakan oleh Disparekraf, hanya mentok pada klarifikasi yang justru terkesan equivocality, complicate dan multitafsir.

Masalah perubahan pamflet dari tema awal “Festival Leva Nuang” menjadi “Explorasi, Pameran dan Ekspresi Wisata Budaya Leva Nuang” dengan perubahan waktu adalah contoh empiris dari buruknya manajemen birokrasi dalam membangun komunikasi antar bidang untuk menyelesaikan sebuah problematika sosial masyarakat.

Explorasi, Pameran dan Expresi Wisata Budaya Leva Nuang dan Agenda Tersembunyi

Publik masih secara objektif melihat “Leva Nuang” sebagai target dari kegiatan besar dinas Pariwisata Kabupaten Lembata. Secara terang-terangan kegiatan tersebut masih menjadikan Leva Nuang sebagai brand dari kegiatan bertema promosi pariwisata, namun menurut hemat saya lebih pas dikatakan safari menghambur-hambur uang, daripada menyebutnya sebagai “Explorasi, Pameran dan Expresi Wisata Budaya Leva Nuang”

BACA JUGA:  Masyarakat Desak Polisi Tangkap Aktor Intelektual Dibalik Pembunuhan Astrid dan Lael

Pemerintah adalah organisasi yang tersistem dalam mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Explorasi, Pameran dan Expresi Wisata Leva Nuang menjadi media kampanye tujuan real yang disamarkan oleh kegiatan berbau wisata. Ada kesempatan yang secara implisit menumpang agenda Dinas Disparekraf.

Gaungnya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat pariwisata, tetapi ada indikasi kamuflase kepentingan-kepentingan politis dari elite-elite politik yang berkepentingan jika dilihat dari tempus dan lokus kegiatan tersebut.

Tanggal-tanggal yang dikeramatkan oleh tradisi sakral Leva Nuang memiliki daya magnet terkait strategi marketing Disparekraf Lembata yang menumpang kesohoran tradisi sakral Leva Nuang sebagai cover menutupi agenda siluman yang berkepentingan.

Ada kesan ‘memaksa’ dalam agenda tersebut yang menimbulkan multitafsir ada apa sebenarnya Disparekraf Kabupaten Lembata mati-matian memaksakan agenda yang sebenarnya tidak menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat adat Lamalera?

Publik mulai dan harus berpikir kritis-cerdas tentang lokus dan tempus, yang tentu saja memiliki peran tak kalah besar dalam hajatan pesta demokrasi pilkada 2024 yang sudah dekat, tetapi jika murni adalah bagian dari promosi wisata oleh Disparekraf maka Disparekraf harus menerima kenyataan bahwa mereka lemah dalam menjalankan sistem sebagai sebuah organisasi.***

error: Content is protected !!