KUPANG, HN – PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT telah meraup keuntungan sebesar Rp1 trilun rupiah dari hasil transaksi Medium Terms Notes (MTN), yang dilakukan sejak tahun 2011 silam.
Kuasa hukum Bank NTT, Apolos Djara Bonga, SH, mengatakan, PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT sejatinya telah melakukan transaksi MTN sejak tahun 2011, sesuai ketentuan yang berlaku.
Karena merasa untung, Bank NTT kemudian kembali melakukan pembelian MTN sebesar Rp50 miliar rupiah dari PT. SNP Finance pada tahun 2018 lalu.
“Metode yang sama Bank NTT telah mendapat keuntungan senilai Rp1 triliun rupiah. Dan baru pada tahun 2018 terjadi resiko bisnis dengan PT. SNP Finance sebesar Rp50 miliar rupiah,” ujar Apolos Bonga kepada wartawan di Kupang, Selasa 14 Juni 2022.
Menurut Apolos, sebelum Bank NTT melakukan transaksi MTN, pihak bank sudah melakukan uji tuntas atau Due Diligence terhadap PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance.
“Uji tuntas dilakukan sesuai keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-412/BL/2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang,” jelasnya.
Ia menjelaskan, PT. SNP Finance merupakan salah satu perusahan yang legal. Jika PT. SNP dinyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai perusahaan paolit, uang senilai Rp53 Miliar lebih milik Bank NTT akan tercatat di Bundel Pailit yang ada pada Tim Kurator untuk dikembalikan.
“Kedudukan hukum PT. SNP Finance adalah Legal, maka dalam proses pengembalian uang Rp 53.120.833.333 tercatat di Bundel Pailit yang ada pada Tim Kurator,” ungkapnya.
Transaksi MTN senilai Rp50 miliar rupiah tidak saja terjadi pada Bank NTT. Tetapi terjadi juga pada Bank umum lainnya dalam jumlah yang cukup besar, sehingga kasus seoerti ini dianggap sebagai resiko bisnis.
“Dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank NTT menyatakan bahwa transaksi MTN senilai Rp50 miliar dianggap sebagai resiko bisnis,” terang Apolos.
Ia menambahkan, dalam kasus MTN Bank NTT ada interprestasi, anggapan atau asumsi subjektif yang berlebihan dari oknum atau kelompok tertentu dengan tujuan mendiskreditkan kredibilitas Bank NTT, serta cenderung menyerang kehormatan Dirut Bank NTT.
“Hal ini dapat berimplikasi hukum terhadap oknum atau kelompok yang memberikan pendapat dan atau pernyataan yang tidak berdasarkan hukum,” tandasnya.***