KUPANG, HN – Norma Hendriana Chandra (70) mendapat perlakuan tidak senonoh dari Christin Natalia Chandra (40) yang merupakan anak kandungnya sendiri pada bulan November 2021 lalu.
Christin tega mendorong dan menganiaya ibu kandunya sendiri hingga terjatuh, dan mengalami patah tulang dibagian punggunnya.
Mirisnya, Norma Hendriana yang merupakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT ini justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kupang Kota, setelah menerima laporan dari pelaku.
Chrtistin melaporkan Norma Hendrina ke polisi dengan dalih telah mendapat kekerasan hingga mengalami luka sayatan dibagian tangan dan kakinya.
Atas laporan itu, korban ditetapkan sebagai tersangka, dan kini berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap alias P21 oleh jaksa peneliti berkas di Kejaksaan Negeri Kota Kupang, pada 9 November 2022 lalu.
Norma Hendriana, ketika ditemui awak media merasa kecewa dan mempertanyakan kinerja Aparat Penegak Hukum (APH), karena dengan mudah menetapkan dirinya sebagai tersangka dan dilanjutkan dengan P21 berkas perkara oleh jaksa.
Menurutnya, peristiwa itu tidak pernah ia lakukan sama sekali terhadap anaknya Christin Natalia Chandra. Justru ia menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh anaknya, hingga mengalami patah tulang belakang.
“Kejadian itu tidak pernah ada. Dan saya tidak melakukan sama sekali. Tetapi polisi kok menetapkan saya sebagai tersangka, dan mem P21 berkasnya dengan sangat mudah,” ujar Norma kepada wartawan, Senin 12 September 2021.
Ia menilai pihak kepolisan dan jaksa kurang cermat dalam meneliti dan menangani kasus KDRT tersebut, sehingga Norma yang merupakan korban, justru ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya merasa pihak kepolisian dan jaksa kurang cermat dalam meneliti kasus ini. Sehingga dengan mudahnya mereka tetapkan saya sebagai tersangka, dan lanjut ke P21. Disini saya rasa tidak mendapat keadilan,” terangnya.
Temui Jaksa
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Norma kemudian berusaha menemui jaksa yang menangani perkaranya itu di Kejaksaan Negeri Kota Kupang, pada 15 Agustus lalu.
Disana, kata Norma, jaksa justru merasa bingung dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik anaknya Christin Natalia Chandra, karena isi dari kedua BAP itu tidak bersesuaian.
“Jadi isi BAP pertama dan kedua yang diserahkan itu beda-beda. Sehingga jaksa bingung. Karena BAP pertama mengatakan ada goresan gergaji di kaki dan tangan Christin,” jelasnya.
“Sementara pada BAP kedua, tidak disebutkan luka di bagian kaki, tetapi hanya di tangan, karena kena gergaji dan pemukul. BAP itu membingungkan jaksa untuk menggunakan yang mana,” jelas Norma menambahkan.
Ia menjelaskan, di usianya ke 70 tahun dengan kondisi fisik yang lemah, sangat tidak mungkin ia melakukan kekerasan terhadap Chtistin, dengan cara mendorongnya hingga terjatuh ke tanah.
“Saya ini kan sudah 70 tahun. Sedangkan Christin baru 40 tahun. Manamungkin saya bisa dorong dia sampai ada luka sayatan panjang di tangannya,” terangnya.
Jika dalam BAP Christin mengaku sayatan yang dialami karena gergaji, maka lukanya pasti tidak karuan. Karena gergaji itu bergerigi.
“Tetapi luka yang dialami itu adalah sayatan lurus di tanganya. Disini menjadi janggal, dan jaksa meminta petunjuk, karena merasa bukti yang diserahkan belum cukup,” ungkapnya.
Namun, kata Norma, bukti lain yang diminta oleh jaksa berupa rekaman CCTV, hingga kini justru tidak dilampirkan sebagai salah satu bukti dalam kasus tersebut.
“Saat itu jaksa katakan bahwa, jika CCTV tidak disertakan, maka pihaknya meminta agar dilakukan rekonstruksi. Dan kalau buktinya cukup, kasus ini akan dinaikan. Jika tidak, kasusnya ditutup, karena bukti tidak cukup,” jelasnya.
Namun, rekonstruksi itu justru tidak dilakukan, hingga ia mendapatkan pemberitahuan dari Polres Kupang Kota, bahwa berkas perkaranya sudah dinyatakan P21 oleh jaksa di Kejari Kota Kupang.
“Ini aneh. Padahal waktu itu jaksa mengatakan berkas perkara saya belum lengkap, karena masih butuh CCTV dan rekonstruksi, karena bukti tidak lengkap. Tiba-tiba P21 tanpa rekon dan bukti lainnya,” ungkapnya.
Kuasa hukum korban Norma Hendriana Chandra, Jors Nakmofa, menjelaskan, dari hasil gelar perkara, memang diminta untuk melakukan rekonstruksi dan menyerahkan bukti lain berupa CCTV.
“Tetapi kembali lagi, menyangkut penentuan kelengkapan berkas itu kewenangan dari jaksa. Jadi sudah ada alat bukti atau belum, tetapi menurut jaksa itu sudah cukup,” jelasnya.
“Hanya, dari sisi ibu Norma, dia kecewa jika CCTV dan rekonstruksi tidak dipenuhi. Karena CCTV itu sangat membantu untuk membuktikan luka di tangan Christin,” tambahnya.
Menurut Jors, jika CCTV tidak dihadirkan, maka jaksa wajib membuktikan di persidangan nanti, terkait bukti-bukti yang sudah diteliti oleh jaksa selama ini.
“Jadi di persidangan, jaksa harus mampu buktikan, bahwa ada perbuatan pidana atau tidak. Itu nanti kita lihat pembuktian jaksa di persidangan nanti,” tandasnya.
Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Perjuangan Hak Perempuan dan Anak Kota Kupang, Maria Fatima Hadjon Bethan, mengaku kecewa dengan Aparat Penegak Hukum (APH).
Menurutnya, ia merasa aneh, karena orang yang menjadi korban kekerasan, justru dilaporkan sebagai pelaku, dan ditetapkan sebagai tersangka tanpa rekonstruksi dan bukti yang kuat.
“Kami merasa sangat tersakiti. Padahal, kasus ini sudah digelar perkara di Polda NTT, dan hasilnya diminta untuk dilakukan rekonstruksi,” jelasnya.
Hal itu dilakukan untuk mengetahui kejelasan kasus, terkait alat yang digunakan Norma Hendriana Chandra untuk menolak anaknya Christin, hingga mengalami luka sayatan dengan sekian jahitan.
“Kalau ibu Norma benar pelakunya, kenapa tidak digelar perkara dan rekonstruksi sesuai permintaan Polda NTT dan jaksa, yang menerima berkas ibu Norma sebagai tersangka,” tegasnya.
Ia menambahkan, pihaknya dari lembaga tidak sedang mencampuri urusan Aparat Penegak Hukum (APH) yang sedang menangani perkara ini.
“Itu hak prerogatif APH. tetapi kami sangat sedih. Dimana keadilan itu. Sebagai lembaga, kami merasa kecewa,” pungkasnya.***