Hukrim  

Kuasa Hukum PT Flobamor Yakin Gugatan PT SIM Ditolak Majelis Hakim

Suasana sidang di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Kupang (Foto: Eman Krova)

KUPANG, HN – Pengadilan Negeri (PN) Kupang menggelar sidang lanjutan kasus gugatan yang diajukan oleh PT Sarana Investama Manggabar (SIM) terhadap Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan PT Flobamor.

Gugatan itu atas dasar pemutusan sepihak atas perjanjian bangunan guna serah antara PT SIM dan Pemprov NTT, terkait pembangunan Hotel Plago di Pantai Pede, Kabupaten Labuan Bajo, Provinsi NTT.

Sidang yang diadakan dengan agenda pemeriksaan saksi ini berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Kupang Selasa, 29 Agustus 2023 siang.

Dalam persidangan, Pemprov NTT yang merupakan pihak tergugat hadir dengan membawa tiga orang saksi untuk memberikan keterangan.

Kuasa hukum PT Flobamor, Samuel Haning, usai persidangan mengatakan, Pemprov NTT melakukan PHK terhadap PT SIM karena wanprestasi.

Dia juga meyakini, jika gugatan dari PT SIM tidak akan dikabulkan oleh majelis hakim, karena posita dan petitum sangat kontradiksi.

“Menurut saya, posita dan petitum yang dilakukan penggugat ini sesuatu yang sangat kontradiksi, sehingga saya yakin hakim pasti menolak gugatan itu,” ujar Samuel Haning.

Samuel Haning juga mengaku tidak setuju terhadap langkah atau adanya upaya damai antara Pemprov NTT dan PT SIM seperti yang diusulkan dalam persidangan.

Haning mengklaim jika pihaknya sudah memenangkan gugatan, dan menilai bahwa materi dan kesaksian yang diajukan sudah sesuai.

BACA JUGA:  Rekonstruksi Dinilai Janggal, Kuasa Hukum Segera Surati Penyidik Polda NTT

“Kalau mau minta damai maka pemprov paling bodok. Karena gugatan itu kita sudah menang, dan materi para saksi juga sudah sesuai,” ungkapnya.

“Selain itu, baik gugatan maupun posita dan petitum itu kalau saya baca, tergugat 1 dan tergugat 2 itu memang. Terus kalau Pemprov bilang damai lagi ini lelucon atau apa?,” tegasnya.

Kuasa hukum PT SIM, Kresna Guntarto mengatakan, sebenarnya mereka menolak tiga orang saksi yang dihadirkan Pemerintah Provinsi NTT dalam persidangan.

“Pada intinya kami menolak para saksi. Tetapi karena hakim sudah ajukan ke persidangan, maka kami turut bertanya untuk memberikan klarifikasi terhadap hal – hal yang disampaikan oleh saksi yang menurut kami tidak benar,” jelasnya.

Menurut Kresna, dalam keterangan saksi, pihaknya memeproleh informasi bahwa yang meminta kenaikan kontribusi itu bukan BPK, tetapi Pemprov NTT yang dilakukan pada tahun 2018 lalu.

“Karena audit BPK itu baru dimulai bulan Oktober 2019 hingga November 2019. Demikian juga audit BPKP yang dilakukan pada tahun 2019 juga,” ungkapnya.

“Jadi yang melapor ke BPK dan BPKP adalah Pemprov NTT sesuai usulan di tahun 2018. Karena memang keinginan menggebu gebu dari pemprov di tahun 2018 untuk menaikan kontribusi,” tambahnya.

BACA JUGA:  Lantik Matheos Tan Jadi Penjabat Bupati Lembata, Gubernur Viktor: Jangan Banyak Duduk di Belakang Meja

Selain itu, Kresna Gubtarto mengaku prihatin dengan penerapan hukum yang baru berlaku setelah kontrak ditandatangani.

Harusnya permendagri nomor 19 tahun 2016 yang digunakan sebagai acuan oleh BPKP dan BPK NTT dalam melakukan rekomendasi kepada Pemprov NTT.

Namun kesalahan Pemprov NTT yang menerima begitu saja audit tersebut, dimana audit itu mengacu pada Permendagri nomor 19 tahun 2016.

“Harusnya kontrak tersebut kan acuan pada permendagri nomor 17 tahun 2007. Sehingga tidak tepat digunakan untuk mengusir pihak ketiga yang melakukan kerjasama dengan pemorov,” jelasnya.

Dalam audit BPKP dan BPK, kata dia, tidak ada rekomendasi untuk melakukan pemutusan sepihak. Semuanya hanya usulan negosiasi.

“Jadi dasar untuk menghentikan sepihaknya bukan dari BPKP atau BPK. Tetapi pemprov menggunakan dasarnya sendiri dengan mengacu pada Permendagri 19 tahun 2016,” ungkapnya.

Padahal, harusnya ketika kontrak itu masih mengacu pada permendagri yang lama, maka acuannya juga harus pada permendagri yang lama atau mengacu pada kontraknya.

“Jika kontrak tidak mengatur maka mengacu pada KUH Perdata dan harus gugat ke pengadilan,” terangnya.

Dia juga mengutarakan keprihatinan mereka atas potensi dampak negatif terhadap investasi dan kerjasama, jika isu hukum ini tidak diselesaikan dengan bijaksana oleh Pemprov NTT.

BACA JUGA:  Kejati NTT Mulai Sita Kendaraan Dinas Yang Masih Digunakan Para Oknum Mantan Pejabat

“Harusnya pemprov lebih bijaksana dalam merangkul pihak ketiga sebagai mitra. Karena jika cara penzoliman seperti ini, takunya investor pada kabur dari NTT, karena kuatir akan dikriminalisasi dan tidak diberikan tanggung jawab atau ganti rugi jika ada masalah,” ungkapnya.

Ia menyayangkan sikap Pemprov NTT yang melapor ke Kejati NTT terkait dugaan perkara korupsi, padahal mereka adalah pihak swasta yang membangun tanpa menggunakan APBD maupun APBN.

“Kami gunakan uang sendiri. Bayangkan. Kami sudah keluar uang sendiri Rp25 miliar lebih untuk bangun hotel, kemudian kami dikriminalisasi hanya karena adanya potensi kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh,” jelasnya.

“Ini kan bukan kerugian real. Tetapi masih potential loss. Dan terminologi potential loss itu belum tentu merugikan negara. Apalagi di perma sudah disebutkan MA yang berhak menentukan kerugian negara adalah BPK bukan BPKP,” tambahnya.

Terkait usulan damai, PT SIM menyatakan kesiapan, jika menguntungkan kedua bela pihak, baik Pemprov NTT maupun PT SIM.

“Jika menguntungkan kedua bela pihak, mungkin kita bisa terima. Tetapi kalau hanya berat sebelah maka sama saja dengan penzoliman lebih lanjut. Tetapi kami harapkan ada kesepakatan dan terjadi  win win solution dari kedua belah pihak,” pungkasnya.***

error: Content is protected !!