LARANTUKA, HN – Silaturahmi Frans Aba mengunjungi masyarakat Flores Timur di Larantuka dan Adonara beberapa bulan kemarin, mendapat kesempatan bertemu Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr.
Dalam perjumpaan hangat itu, Frans Aba menyampaikan bahwa dirinya telah menyumbangkan Salib besar dan menghantarnya dalam ziarah bersama umat Stasi Ariona, Paroki Baniona Adonara Barat. Selain itu, Frans Aba pun memohon restu dari Uskup Larantuka untuk maju sebagai calon Gubernur NTT 2024.
“Yang mulia Bapa Uskup Larantuka, saya mohon restu untuk maju sebagai calon Gubernur NTT 2024. Saya juga sumbang Salib dan menghantarnya ke Ariona Paroki Baniona,” ungkap Frans Aba.
Uskup Larantuka menyambut sukacita dan memberi restu untuk Frans Aba maju dan mencalonkan diri sebagai Gubernur NTT 2024.
Pertemuan antara duo Fransiskus pun berlanjut. Keduanya membangun dialog dan diskusi seputar pengalaman iman umat, persoalan moral, sosial, budaya dan dampak-dampak dari kebijakan politik yang terjadi di Flores Timur dan NTT.
Uskup Fransiskus yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang menolak tegas pengaruh buruk primordialisme itu menyatakan, terkadang sistem kekerabatan, sistem kesukuan itu memiliki pengaruh positif dan negatif memengaruhi gerak pembangunan.
“Misalnya ketika kita mengembangkan dan mengintensifkan pembangunan, tapi ada problem agraria yang berkaitan dengan kesukuan. Akhirnya tujuan kita baik tapi nanti tidak bisa berjalan. Sehingga ada karakteristik setempat yang mesti dikenal, diidentifikasi dan dicari pemimpinnya. Ini perlu ada keberanian dan sikap siap rugi untuk rakyat atau umat,” kata Uskup Larantuka.
Uskup Larantuka berharap, dalam kesempatan ini, Frans Aba harus terus membangun dialog dan memberi pencerahan kepada masyarakat NTT.
“Pak Frans harus bangun dialog dan beri pencerahan,” kata Uskup Larantuka.
Sementara kata Frans Aba, apa yang disampaikan oleh Bapak Uskup adalah benar-benar mencerminkan kedewasaan dan sikap kebapakan visioner dari seorang pemuka Agama. Uskup Fransiskus tidak secara ekslusif menyinggung atau mengutamakan kepentingan umat Katolik atau orang-orang Larantuka, tetapi justru mengkritisi dan mengharapkan agar siapapun yang memimpin NTT, harus terlepas dari sekat-sekat kesukuan maupun suku.
“Beliau ingin agar lokus dan fokus dari pembangunan di NTT adalah masyarakat itu sendiri, semuanya, tanpa problem kedok apapun. Hal ini tentu saja sejalan dengan prinsip saya sendiri,” kata Frans Aba.
Menurut Frans Aba, hal yang disampaikan oleh yang mulia Uskup Larantuka, adalah seharusnya orang-orang menerjemahkan arti kata “Katolik” dan mempertegas keberadaan Gereja di dunia sebagaimana yang dimuat dalam Katekismus Gereja Katolik. Bahwa Katolik itu artinya merangkul semua orang, seluruhnya atau lengkap. Dan terlepas dari kedok agama, suku, pendidikan dan lain sebagainya.
“Dan saya kira, itulah kesadaran fundamental yang saya prioritaskan sejak dulu dan sampai seterusnya, yakni terlibat aktif di ruang publik sambil tetap memperhatikan duka dan kecemasan, serta kegembiraan dan harapan semua masyarakat,” ungkap Frans Aba.
Dalam dialog itu, Frans Aba juga mengkisahkan bagaimana keterlibatannya ketika masih menjadi mahasiswa di Malaysia. Dirinya turut berperan penting dalam mengadvokasi korban-korban human trafficking di Malaysia. Salah satunya adalah bagaimana Frans Aba mengadvokasi kasus Nirmala Bonat.
“Terus terang saja, saya termasuk orang yang lihat langsung dan membantu secara langsung korban-korban perdagangan manusia asal NTT yang ada di Malaysia. Waktu itu saya berperan besar dalam membantu Pak Paul Liyanto,” pungkas Frans Aba.***