Miji Sang Difabel, Bertarung Melawan Kabut di Mata hingga ‘Menari’ di Negeri Ginseng

Maigel Arifen Dano bersama Dirut Bakti Kominfo, Fadhilah Mathar, saat berada di Korea Selatan (Foto: Ist)

HALUANNTT.COM – Miji mungkin bukan nama yang populer jika dibanding dengan Stephen Hawking, seorang profesor di bidang sains yang memiliki keterbatasan fisik namun mampu menulis ratusan karya yang dibaca dari generasi ke generasi, atau Nick Vujicic, tokoh Inspiratif dunia asal Australia, yang terlahir tanpa kaki dan tangan namun mampu membina rumah tangga bahagia dan sejahtera.

Miji hanyalah seorang penyandang disabilitas netra yang tinggal di pedalaman Rote Ndao, yang harus berjuang keras menaklukkan kerasnya hidup dan angkuhnya kabut di mata dengan menghidupkan cahaya mentari di hatinya.

Miji lahir di Desa Nusakdale pada tanggal 1 Mei 1988, dari pasangan suami isteri,  Ekber Dano dan Hawa Bendalina Malelak dan terlahir dengan kondisi fisik yang sempurna.

Sejak kecil, pemilik nama lengkap Maigel Arifen Dano itu, begitu dimanja oleh kedua orangtuanya lantaran Miji merupakan anak satu – satunya.

Di usianya yang masih sangat kecil yakni 2 tahun, Miji ditinggal ibunya kembali ke Sang Pencipta, sehingga ayahnya harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi Miji.

Kendati tanpa kasih sayang seorang ibu, Miji terus bertumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria.

Seiring waktu berjalan, Miji tumbuh menjadi seorang remaja yang gagah. Dia mengenyam pendidikan di sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri di kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao.

Namun, saat menginjak usia 18 tahun, Miji ditimpa musibah. Dia harus menerima kenyataan bahwa penglihatan pada kedua matanya hilang lantaran ditampar seorang guru.

Dunia menjadi gelap dan Miji kehilangan harapan. Kisah kelam Miji dimulai dari tamparan maut sang guru olahraga.

Berbagai upaya dilakukan orangtua dan keluarga untuk kesembuhan Miji.

Semua Rumah Sakit di Kota Kupang bahkan di Surabaya didatangi untuk mengobati bola mata Miji, namun jawabannya sama yakni jika dipaksakan untuk operasi maka kemungkinan meninggal dunia atau gila.

Miji pasrah. Ia memilih untuk hidup dalam gelap ketimbang dioperasi.

Miji yang seharusnya mengikuti ujian kelulusan SMA harus bermuram durja lantaran dikeluarkan dari sekolah. Ibarat pepatah tua, sudah jatuh tertimpa tangga.

BACA JUGA:  Tebar Kebaikan di Bulan Suci Ramadhan, Kapolresta Kupang Kota Berbagi Takjil untuk Pengguna Jalan

Miji frustrasi. Namun dalam kepahitan hidup, Miji menyadari bahwa pasti ada rencana Tuhan di balik musibah yang Ia alami.

Setahun berlalu, Miji memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) di Kota Kupang.

Kendati tidak mendapat restu dari ayahnya, Miji bersikeras untuk melanjutkan sekolahnya dan dengan dibantu oleh salah satu kerabatnya, Miji berangkat ke Kota Kupang.

Ia lalu mendaftarkan diri di sebuah SLB di Kota Kupang dan diterima dengan baik.

“Saya masuk kelas satu lagi. Di situ (SLB) saya belajar menggunakan tongkat dan belajar membaca serta memahami huruf braille,” Miji mengisahkan.

Selain belajar ilmu pengetahuan, Miji juga mempelajari berbagai keterampilan.

“Waktu itu saya belajar refleksiologi acupresure atau memijat titik saraf. Keterampilan itu saya gunakan untuk mencari uang untuk kebutuhan hidup saya, termasuk kebutuhan sekolah,” ungkapnya.

Miji yang pemurung kembali menjadi ceriah kendati tidak melihat dunia. 

Walau tidak bisa melihat namun Miji mampu mengikuti perkembangan teknologi dan informasi.

Dari huruf Braille, Miji mulai belajar menggunakan laptop dan telepon selular.

Dengan bantuan aplikasi pembaca layar,  Miji mampu berkomunikasi menggunakan handphone layaknya orang melihat.

Sementara untuk mengerjakan tugas sekolah atau membaca buku, Miji menggunakan laptop dan scanner.

“Kami pun belajar mengetik 10 jari, dan tidak sembarang angkat jari,  harus sesuai rumus yang kami pelajari kalau tidak maka hasil ketikan jadi kacau. Beda dengan orang melihat, kan bisa cari hurufnya baru ketik,” pungkas Miji.

Dalam keterbatasnnya, tahun 2011, Miji mengikuti berbagi kompetisi. Ia pernah menjuarai pertandingan Catur Tunanetra, lomba menyanyi solo, lomba pidato, dan lomba menulis Braille tingkat provinsi yang digelar oleh Dinas PPO Provinsi NTT.

“Karena juara tingkat provinsi maka saya mewakili NTT ikut pertandingan catur di Surabaya, sedangkan nyanyi solo dan pidato di Makasar. Waktu di tingkat nasional tidak dapat juara karena lawan saya berat, mereka sudah profesional sementara saya baru mulai beradaptasi dengan dunia netra,” ujarnya dengan nada canda.

Tiga tahun berlalu, Miji akhirnya menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas.

BACA JUGA:  Srikandi Ditsamapta Polda NTT Berbagi Kasih di Bulan Suci Ramadhan

“Saya sekolah SMA 6 tahun, tiga tahun di SMA tapi tidak tamat karena musibah, kemudian ulang lagi di SLB 3 tahun dan tamat,” celetuk Miji.

Perjalanan studi Miji tidak berhenti sampai di situ. Miji kemudian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Tahun 2012 Miji mendaftar ke sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Kupang.

“Awalnya saya ditolak, alasannya kampus tersebut tidak menerima mahasiswa berkebutuhan khusus,” kenang Miji.

“Saya kemudian menjelaskan bahwa saya bisa mengikuti perkuliahan seperti mahasiswa pada umumnya, dengan menggunakan fasilitas yang saya gunakan semasa di SLB,  dan saya akhirnya diterima,” imbuhnya.

Miji resmi menjadi mahasiswa. Proses perkuliahan pun dimulai dan Miji mengikuti perkuliahan seperti biasa.

Kendati dalam keterbatasan fisik dan ekonomi, Miji tidak patah arang. Segala peluang diambil untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikannya.

Karena kampusnya berada di pinggiran Kota dan dekat dengan sentra produksi beras, Miji membeli beras dari para petani kemudian menjual kembali dan keuntungannya dipakai untuk biaya hidup dan pendidikannya.

Selain itu, Miji juga menekuni keahliannya sebagai terapist refleksiologi acupresure untuk menopang kebutuhan hidupnya.

Empat tahun berlalu, tepatnya tahun 2016, Miji menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dan menyandang gelar sarjana theologia.

Kendati memiliki keterbatasan fisik, tapi soal asmara jangan diragukan. Miji sempat menjalin hubungan asmara dengan beberapa gadis cantik, walau akhirnya kandas di tepian rindu.

Tahun 2020, Miji mulai merintis usaha. Tentu tidak mudah, karena saat itu dunia sedang dilanda pandemi Covid 19 dan banyak usaha yang gulung tikar.

“Waktu itu saya hanya punya keyakinan bahwa rejeki, jodoh dan mati, Tuhan yang atur. Itulah dasar saya bangun usaha di tengah gempuran pandemi covid 19,” jelas Miji.

Usaha yang ditekuni penyandang disabilitas netra itu bergerak di bidang kuliner. 

Miji membuka usaha pengasapan ikan. Pasalnya, Rote Ndao memiliki potensi yang sangat besar di bidang perikanan,  karena itu mesti di kelola dengan baik untuk meningkatkan perekonomian.

BACA JUGA:  DPRD Minta Polisi Usut Tuntas Mafia Pupuk Subsidi di Rote Ndao

Penjualan hasil produksi Ikan Se’i Miji dilakukan secara online melalui berbagai platform media sosial.

Tahun 2020,  Miji mengikuti Lomba  e-comerce yang digelar Bakti Kominfo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, dan berhasil menyabet juara 2.

Nama Ikan Se’i Miji mulai dikenal luas, baik di kalangan masyarakat biasa maupun pejabat pemerintahan di Kabupaten Rote Ndao.

Alhasil, Miji diundang sebagai pemateri di berbagai kegiatan pemerintahan,  seperti dinas Koperindag dan Kominfo Kabupaten Rote Ndao.

Keberhasilan Miji berhembus sampai di telinga Andy Noya. Putra terbaik negeri sejuta lontar itu akhirnya diundang ke acara Kick Andy.

Oktober 2021, Miji menemukan tambatan hatinya dan bersepakat untuk memateraikan dalam pernikahan kudus.

Miji menunjukan kepada dunia bahwa keterbatasan fisik tidak bisa menghalangi kebahagiaan seseorang.

Kebahagiaan Miji begitu sempurna di atas ketidaksempurnaannya. Ia selalu didampingi seorang isteri yang cantik dalam menjalankan usahanya yang kian melejit.

Tahun 2022, Miji kembali mengikuti Lomba E-comerce yang digelar Bakti Kominfo, dan berhasil keluar sebagai juara satu tingkat nasional.

Sebagai bentuk apresiasi, Miji bersama 11 orang juara di bidang masing – masing, diberi kesempatan oleh Bakti Kominfo untuk melakukan study visit ke Negeri Ginseng, Korea Selatan.

“Saya tidak pernah bermimpi sampai ke Korea Selatan, tetapi Tuhan luar biasa, membuat keajaiban dalam hidup saya,” tandas Miji berkaca – kaca.

Kebahagiaan Miji begitu sempurna dengan mengunjungi sejumlah distinasi wisata favorit di Korea Selatan.

Saat ini usaha Ikan Se’i Miji sudah terdaftar di kementerian hukum dan ham serta memiliki ijin usaha, sehingga pria penyandang disabilitas netra ini pun sudah berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan taat membayar pajak.

Selain perijinan, usaha Ikan Se’i Miji juga sudah mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebagai bentuk perhatian kepada kaum disabilitas, Miji mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama perkumpulan disabilitas inklusi (PERDIN) Rote Ndao.  Organisasi ini tentunya konsen mengadvokasi kaum disabilitas di berbagai bidang.

Bagi Miji, keterbatasan bukan halangan untuk berkreativitas, karena Tuhan tidak terbatas dalam hidup manusia.***

error: Content is protected !!