KUPANG, HN – Sengketa Pilkada Kabupaten Belu 2024 terus bergulir setelah tim pasangan calon dr. Agus Taolin dan Yulianus Tai Bere (Paket Sehati) melaporkan dugaan pelanggaran terhadap pasangan Wilibrodus Lay-Vicente Hornai Gonsalves (Paket Sahabat) ke Bawaslu Kabupaten Belu.
Tim kuasa hukum Paket Sehati, Jeremias L. M. Haekase, mengatakan, laporan dugaan pelanggaran diajukan sejak 6 Desember 2024, sehari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Belu menetapkan hasil Pilkada.
Menurut Jeremias, calon wakil bupati dari Paket Sahabat, Vicente Hornai Gonsalves, diduga menyembunyikan riwayat hukum dirinya saat mendaftarkan diri sebagai calon.
Vicente, kata dia, pada tahun 2003 silam diketahui pernah terlibat kasus pidana dengan dakwaan Pasal 328 dan Pasal 332 KUHP, terkait tindak pidana membawa lari anak perempuan di bawah umur.
Pasal itu berbunyi barang siapa membawa pergi seseorang dari tempat tinggalnya dengan maksud menempatkan orang tersebut di bawah kekuasaan orang lain atau dalam keadaan sengsara, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Vincente juga dikenakan dakwaan Subsidair Pasal 332 KUHP, Ayat (1) yang berbunyi “Pelaku yang membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun”.
Atas kasus itu, Vicente kemudian dihukum 11 bulan penjara berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor 186/PID/B/2003/PN.ATB yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Sehingga yang bersangkutan adalah seorang mantan narapidana yang tunduk pada ketentuan Undang-undang (UU) Pemilu,” ujar Jermias, Kamis 28 Desember 2024.
Ahli hukum pidana dari Universitas Widya Mandira Kupang, Mikael Feka, menjelaskan, penyampaian data diri dalam Pilkada adalah tanggung jawab pribadi calon.
Menurutnya, dalam Kasus Sengketa Pilkada Belu, kesalahan ada pada Vicente Hornai Gonsalves, sebagai calon wakil Bupati, bukan pada Wilibrodus Lay, sebagai Calon Bupatinya. “Namun akibatnya berdampak pasangan paket,” jelasnya.
Sesuai UU Pilkada No 10 Tahun 2016 Pasal 7 Ayat 2, tentang syarat calon Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota, juga Gubernur-Wakil Gubernur, bahwa pasangan calon wajib menyampikan data diri secara jujur kepada penyelenggara pemilu, termasuk mantan narapidana dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun, wajib menyampaikan ke publik melalui media masa yang terverifikasi dewan pers.
“jadi dalam kasus Vincente ini, sifatnya adalah kewajiban mutlak yang harus ada dan diselenggarakan dengan cara menyampaikan ke media masa yang terverifikasi dewan pers, karena masuk dalam syarat, dan ini adalah tindakan untuk memenuhi syarat formil,” tegas Mikael.
Mikael menambahkan, jika salah satu syarat formil tidak terpenuhi, maka menurutnya Mahkamah Konstitusi bisa mendiskualifikasi pasangan calon, karena sudah ada sebagaimana di Provinsi NTT ini, sudah pernah terjadi kasus serupa, pengkaburan identitas, memberikan keterangan palsu oleh salah satu kandidat calon bupati dan wakil bupati di Kabupaten Sabu Raijua dan itu sudah menjadi Yurisprudensi untuk kita semua.
Mahkama Konstitusi, kata Mikhael Feka, saat ini sudah lebih mudah untuk memutuskan sengketa pilkada serupa, karena sudah ada yurisprudensinya.
Baik Jeremias L. M. Haekase, selaku kuasa hukum paket Sehati, maupun Mikael Feka, Ahli Hukum Pidana Unwira Kupang, sependapat, bahwa kasus ini memberikan pelajaran perpolitikan di Nusa Tenggara Timur, serta menegaskan bahwa langkah hukum ini bukan untuk merugikan pihak lain, melainkan memastikan keadilan dalam penegakan hukum.
Adapun Sengketa Pilkada Belu ini, Selain melaporkan kasus ini ke Bawaslu Kabupaten Belu, tim “Paket Sehati” juga telah mengajukan permohonan pembatalan hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan itu ditujukan kepada Ketua MK di Jakarta dengan pokok permohonan pembatalan Keputusan KPU Kabupaten Belu Nomor 746 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tertanggal 5 Desember 2024. (/***)