KUPANG, HN – Angin membawa bisik-bisik doa yang tak henti dipanjatkan dari bibir seorang perempuan renta. Petronela Tilis, begitu orang memanggilnya, adalah perempuan yang memeluk harapan dalam ketidakpastian.
Berbulan-bulan lamanya, laporan polisi tentang pengrusakan pagar kawat durinya seolah tenggelam dalam waktu yang sunyi. Tapi asa, seperti yang selalu diajarkan leluhur, tak pernah boleh padam.
Langit Noemuti biru cerah ketika mobil-mobil berplat dinas berhenti di halaman rumah Petronela Tilis, di Hueknutu, Desa Popnam, Noemuti, Rabu 12 Maret 2025.
Dari sana, turun sosok perempuan dengan seragam kebesaran. Kapolres TTU, AKBP Eliana Papote, S.I.K, M.M, didampingi Wakapolres Jemy Oktovianus Noke, S.H, dan beberapa anggota.
Namun yang datang ke rumah kecil itu bukan sekadar seorang pejabat. Namun Elina datang sebagai anak yang hendak menemui ibunya.
Petronela menyambut dengan tatapan penuh tanya. Tetapi saat Eliana Papote mengulurkan tangan, menyapa lembut, dan memanggilnya “Mama,” sekat-sekat formalitas runtuh seketika. Dalam pelukan itu, dua jiwa yang sebelumnya tak saling mengenal menjadi satu dalam bahasa kasih.
Selembar kain merah bercorak putih perlahan disampirkan di tubuh Petronela yang mungil dan mulai mengeriput. Ada ketulusan dalam setiap gerakan Kapolres itu, seolah ia tengah mendandani ibunya sendiri.
Tanpa ragu, sisir kecil pun dikeluarkan dari tasnya, Eliana mulai merapikan rambut putih yang menjadi saksi usia dan perjuangan Petronela.
Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan momen itu. Hanya ada sentuhan lembut dan tatapan penuh kasih dari Erlina. Petronela yang semula diliputi was-was, kini senyum itu mulai merekah di bibirnya.
“Jangan khawatir, Mama. Laporan ini kami tangani dengan serius. Kami pastikan proses hukum berjalan sesuai harapan,” ucap Eliana Papote.
Kapolres TTU itu tak hanya datang membawa janji. Ia datang dengan wadah sirih pinang, yang merupakan simbol persaudaraan di tanah Timor. Dengan tangan terampil, Eliana Papote menyodorkan sirih kepada Petronela, sebuah gestur yang meluruhkan jarak.
Tak berhenti di situ, bantuan sembako dan empat roll kawat duri juga diserahkan. “Biar pagar kebun Mama bisa segera diperbaiki,” kata Eliana.
Petronela menatap perempuan berseragam itu dengan penuh haru. “Apakah ini jawaban Ilahi?” bisiknya pelan, seakan bertanya pada semesta.
Aasa Perronela yang lama terbenam perlahan kembali bersinar. Bukan sekadar karena janji penegakan hukum, tapi karena kehadiran seseorang yang mengulurkan tangan dengan tulus.***