Air Mata Margarita di Ruang Pengaduan MeJa Rakyat

KUPANG, HN – Ruangan itu tidak luas. Tembok bercat putih, deretan kursi dan meja tertata rapi. Baliho bertuliskan “MeJa Rakyat” terpampang di tembok, jadi saksi keluh-kesah yang datang silih berganti.

Pagi itu, Senin 17 Maret 2025, seorang perempuan paruh baya melangkah masuk, menggenggam tas hitam erat di tangannya.

Namanya Margarita Lusi (58). Seorang guru di SMA Negeri 1 Rote Barat. Matanya sembab, ada gurat lelah di wajahnya. Namun langkahnya tegas.

Hari itu, ia datang ke Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur. Dia ingin menyampaikan kelu kesah yang selama ini hanya bisa ia pendam sendiri.

Di balik meja pengaduan, seorang pegawai berkemeja Korpri biru bernama Stenly menyambut dengan senyum ramah.”Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?,” tanya Stenli.

BACA JUGA:  KPU NTT Gelar Tiga Kali Debat Cagub-Cawagub, Perdana Dilaksanakan 23 Oktober 2024

Margarita menarik napas panjang. Ia berusaha menguasai dirinya. Kelopak mata mulai basah. Tangannya terangkat, berusaha menahan bulir air mata yang sudah terlalu lama tertahan. Namun tetes bening itu jatuh, mengalir di pipinya yang mulai berkerut.

Margarita menceritakan awal mula namanya hilang dari daftar gaji. Sementara Stenly mendengar tanpa menyela. Tangannya cekatan di keyboard komputer, mengetik apa yang menjadi keluhan Margarita.

“Saya datang kesini untuk mengadu soal proses pensiun yang saya rasa tidak adil, karena tidak ada pemberitahuan kepada saya. Tiba-tiba nama saya hilang dari daftar gaji sejak awal Februari 2025,” ujar Margarita.

Margarita merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi haknya. Dalam aturan, enam bulan sebelum pensiun, seorang guru harus mengajukan surat permohonan pensiun.

BACA JUGA:  Vitamin Jiwa Stoik Sang Tukang Lobi

Tapi bagi Margarita, semuanya terjadi tanpa pemberitahuan. Padahal, ia baru akan pensiun pada tanggal 1 Januari 2027 mendatang.

Ia mengetahui namanya dicoret dari daftar gaji bukan dari Dinas Pendidikan, bukan juga dari surat resmi. Melainkan dari seorang teman di bagian bendahara.

“Teman saya bertanya, apakah saya masih guru atau sudah pindah? Karena nama saya sudah tidak ada di daftar gaji sejak 30 Januari,” jelasnya.

Margarita mengaku, ketika ia mencoba mengonfirmasi ke dinas, jawaban yang ia terima justru semakin menyayat hati. “Mereka bilang saya bukan guru fungsional,” katanya.

BACA JUGA:  NTT Butuh Gubernur yang Secara Politik Dekat dengan Pusat Kekuasaan

Pernyataan itu menyesakkan. Sejak awal, ia tak pernah diberi tahu bagaimana cara mendapatkan SK fungsional. Ia hanya diberitahu bahwa ketika menerima SK 100 persen, SK fungsional sudah otomatis melekat.

“Kalau memang ada aturan baru soal SK fungsional, seharusnya pihak Dinas memberitahu kami. Bukan tiba-tiba saya diberhentikan tanpa kejelasan,” tegasnya.

Bukan hanya kehilangan penghasilan yang membuat Margarita gelisah. Ia masih memiliki pinjaman di bank sebesar Rp 118 juta, dengan cicilan bulanan hampir Rp 1,8 juta. Tanpa gaji, ia tak tahu bagaimana harus membayar utang itu.

“Saya ini guru, bukan penjahat. Saya hanya ingin hak saya dipulihkan. Saya mohon Pak Melki bisa mendengar pengaduan saya,” pungkasnya.***

error: Content is protected !!