Hukrim  

Keluarga Banobe Pemilik Sah Tanah Manutapen yang Sempat Dijadikan Kawasan Hutan Lindung

KUPANG, HN – Kuasa hukum keluarga Banobe, Bildad Thonak, SH, menyebut bidang tanah di kawasan Manutapen atau Kisbaki, Kecamatan Alak, Kota Kupang, NTT yang kini menjadi polemik adalah sah milik keluarga Banobe.

Menurut Bildad, secara turun temurun, bidang tanah itu sudah dikuasai oleh keluarga Banobe sejak zaman dahulu. Bukan baru sekarang, setelah isu ini mencuat.

“Sehingga kalau ada polemik bahwa tanah itu bukan milik keluarga Banobe itu sangat disayangkan,” ujar Bildad kepada wartawan di Kupang, Sabtu 3 Mei 2025.

Bildad menyebut, tanah itu awalnya milik keluarga Banobe. Namun kemudian digunakan Dinas Kehutanan sebagai tempat atau lokasi persemaian (kawasan hutan lindung).

“Jadi lokasi itu dibuat sebagai kawasan hutan lindung. Namun berkat perjuangan keluarga Banobe, kawasan itu bisa digunakan oleh masyarakat setempat,” jelasnya.

Hingga akhir tahun 2024, kata Bildad, Kementrian Kehutanan di Jakarta kemudian mengeluarkan surat hasil telaah untuk keluarga Banobe.

“Surat itu dikeluarkan langusng Kementrian Kehutanan lewat berbagai proses yang panjang. Jadi bukan hari ini terjadi polemik baru di proses,” ungkapnya.

BACA JUGA:  Keiza dan Dawai Sasando Memukau Wisatawan Prancis di La Cove Kupang

Bildad menjelaskan, tanah yang sudah diserahkan seluas 50 hektar. Namun, belakangan, ada surat dari Kementerian Kehutanan bahwa hanya kurang lebih 20 hektar.

Namun Bildad menyayangkan beberapa pihak yang kini menolak keluarga Banobe sebagai pemilik tanah, bahkan mereka dituding sebagai mafia tanah.

“Ini sangat disayangkan. Karena keluarga Banobe sudah berjuang cukup lama. Sehingga kami minta semua pihak menahan diri dan melihat situasi ini untuk menyelesaikan secara baik,” tandasnya.

Tim kuasa hukum lainnya, Obed Djami, menyebut, sesuai hasil pertemuan dengan keluarga Banobe, mereka ingin gunakan pendekatan humanis untuk menyelesaikan persoalan itu.

“Karena ini untuk kepentingan banyak orang yang kami perjuangkan. Terutama saudara-saudara kita yang tinggal di lokasi tersebut,” ungkapnya.

Dia menegaskan, keluarga Banobe saat ini baru muncul dan menjelaskan persoalan ini ke publik karena mereka ingin agar ada kepastian hukum bagi semua masyarakat yang tinggal di atas lahan tersebut.

BACA JUGA:  Terdakwa Randy Badjideh Divonis Hukuman Mati

“Sehingga kami juga tidak mau gegabah, karena kami dari tim hukum akan menganalisa ini secara baik. Walaupun kami memiliki semua bukti yang lengkap,” tandasnya.

Salah satu ahli waris keluarga Banobe, Filmon Kai, menyebut mereka sangat terpukul dengan adanya informasi yang seolah menuding mereka sebagai mafia tanah.

“Disini saya hanya mau tegaskan bahwa kami bukan mafia tanah. Kami adalah pemilik sah atas objek tanah tersebut,” tegas Filmon Kai.

Menurut Filmon, oknum yang berteriak atau berkoar bahwa keluarga Banobe mafia tanah, justru sebenarnya mereka adalah mafia dan pelaku sesungguhnya.

“Karena merka berdiam diatas tanah itu, lalu menjual tanpa sepengetahuan kami. Jadi mereka menjual tanah itu sebelum Kementrian Kehutanan mengembalikan tanah itu kepada kami keluarga Banobe,” ungkapnya.

Kronologi

Filmon Kai kemudian menjelaskan kronologi tanah itu, bahwa awalnya bidang tahan itu digunakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kehutanan untuk menghutani lokasi tersebut.

BACA JUGA:  Ungkap Kasus Pembunuhan Astrid-Lael, Penyidik Diminta Gunakan Alat Deteksi Kebohongan

Kemudian, kata dia, dengan berbagai macam pertimbangan, Kementerian Kehutanan mengembalikan posisi hutan itu untuk bisa dipergunakan oleh masyarakat.

“Saat itu kami mengajukan kepada Kementrian Kehutanan untuk mengembalikan kepada kami keluarga Banobe sebagai pemilik,” ungkapnya.

Kementrian Kehutanan kemudian memberikan review lokasi hutan, dan pihak keluarga mendapati dua telaah. Pertama ada 16 hektar lebih, dan kedua 5,68 hektar atas nama keluarga Banobe.

“Sedangkan masih ada 7 hektar yang sekarang jadi polemik. Karena 7 hektar itu masuk dalam Tora, yang artinya masih ada hubungan dengan pihak kehutanan, dan belum sepenuhnya dikembalikan kepada kami,” jelasnya.

Dia menyebut, pada prinsipnya mereka tidak punya niat jahat untuk mengusir dan menggusur masyarakat yang tinggal di lokasi tersebut.

“Kami datang dan hadir disitu hanya untuk mediasi dan koordinasi supaya mereka yang ada di tempat itu mendapat legalitas kepemilikan,” tandasnya.***

error: Content is protected !!